Setelah sekian lama tenggelam dengan buku-buku parenting, akhirnya aku kembali lagi ke genre favoritku. Sudah cukup lama sebenarnya mendengar penulis wanita satu ini yang dikenal dengan kisah yang kontroversi dan dekat dengan sejarah. Kini, aku akan mengisahkan bagaimana Laut Bercerita kemudian menjadi salah satu novel Indonesia terbaik yang pernah aku baca.
Leila S. Chudori dengan novelnya yang berjudul “Pulang” menjadi sebuah novel yang banyak sekali diperbincangkan di tahun 2013. Sudah baca? Belom! Tapi tentu sudah masuk wishlist-ku di Goodreads sejak bertahun-tahun yang lalu. Sempat lupa untuk mencari kembali novel Pulang, hingga akhirnya aku membaca resensi dari kakak iparku yang mengisahkan bagaima Laut Bercerita ini sangat menarik. Thanks, Nas!
Ketika membaca ulasannya di Instagram, aku langsung kepincut sama cerita buku ini. Grasak grusuk mencari cara gimana supaya bisa menikmatinya dan Alhamdulillah bisa berjodoh Google Play Books.
Kesan Pertama
Pertemuanku dengan Biru Laut dimulai pada 7 halaman pertama buku ini. Siapa sangka, dengan hanya membaca 7 halaman pertama, aku langsung nyangkut ke sebuah hook. Nancep. Dalam. Perih. Sesak. Ngos-ngosan.
Masih teringat rasanya ketika aku terbelalak sambil geleng-geleng kepala membaca halaman demi halaman bab Prolog ini. Adrenalin rasanya sangat memuncak kala itu. Aku dibawa masuk ke adegan-adegan yang dituliskan dengan sangat detail, indah namun pilu dan ngilu.

Kesan Selama Membaca
Selama membaca buku ini, saya sangat tertarik dengan konsep mba Leila. Beliau membagi buku ini menjadi dua kisah yang saling melengkapi. Dari beberapa wawancara yang aku tonton, mba Leila sengaja untuk tidak hanya menampilkan kisah aktivis ’98 yang hilang namun juga dengan briliannya membawa sudut baru yang terkadang lepas dari ingatan kita. Bahwa rasa kehilangan dari orang-orang yang ditinggalkan juga patut diangkat.
Ada kisah Biru Laut dan Asmara Jati. Biru Laut akan mengajak teman-teman untuk merasakan amarah, geram, dan ketidakberdayaan atas apa yang terjadi padanya sebagai aktivis mahasiswa di masa orde baru. Kisah ini ternyata tidak terjadi hanya di film-film sahaja. Toh, beberapa kisah kekerasan yang dialami Biru Laut adalah kisah nyata yang dialami Nezar Patria. Alur cerita pada bab-bab Biru Laut ini mengajak kita untuk ikut melompat-lompat dan terombang-ambing. Mba Leila sukses membuat hatiku panas di satu bab, lalu adem di bab berikutnya.
Aku meletakkan ekspektasi yang cukup rendah ketika membaca cerita Asmara Jati. Gimana nggak! Kisah Biru Laut sudah berakhir dengan sebuah grand ending. Kenyatannya? Kudos, mba Leila. Hats off! Gila sih bab ini. Siapa sangka cerita kehilangan, patah hati, putus asa, hingga harapan bisa dibalut dalam sebuah cerita Asmara Jati yang akan mengajak teman-teman untuk menyelami kehilangan dan kesedihan pada level yang berbeda. It’s dark yet so comforting.
Ketidaktahuan dan ketidakpastian kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan.
Leila S. Chudori
Kesan di Akhir
She’s a great storyteller, I must say. Kalian pernah gak baca buku yang penulisanya itu mendeskripsikan detail cerita yang gak penting. Sampai suatu saat kalian akhirnya merenung dalam hati, “Ini ngomong apaan sih?” Atau ketika kalian membaca novel itu lalu pikiran kalian justru kemana-mana karena cara penulisannya cukup membosankan. Bahkan kadang ada yang membingungkan.
Di Laut Bercerita, gaya penulisan mba Leila itu mind blowing! Tidak banyak penulis bisa menuliskan kisah yang sangat deskriptif, detail, dan dekat. Kita seperti sedang masuk ke dimensi Biru Laut dan Asmara Jati. Kita seolah-olah menjadi saksi mata di setiap babak buku ini. Ternyata, riset penulisan dapat membuat sebuah karya punya dimensi yang dalam. Sangat dalam.
Kedua karakter utama dalam novel ini juga sangat kuat pembentukannya. Membaca Laut Bercerita serasa hati ini di cabik-cabik. Ketika membaca lembar-lembar pertama, yakinlah teman-teman akan susah melepaskan buku ini selama beberapa hari.
Laut Bercerita layaknya sebuah orkestra yang indah.
Love,
Bubunnya Aqeela
Woow..
Pertama, masih sempat juga mbak Dian membaca?
Kedua, akhirnya, bisa membaca “ketajaman” pena mbak Dian.
Ketiga, dengan ulasan semacam ini, saya jadi merasa harus membaca buku ini juga.
Hebaaat… MasyaaAllooh..
Barookalloohu fiikh mbak Dian!
😍😘