Tantrum Bikin Pusing?

Ketika si kicik berumur 1 tahun 10 bulan, saya memutuskan untuk mulai mengurangi pemberian ASI untuknya. Bisa dibilang umur 1 tahun 10 bulan sampai dengan umur 2 tahun 2 bulan adalah salah satu masa-masa yang akan paling saya ingat.

Kenapa?

Karena disinilah sifat tantrum si kicik mulai berkembang. Dan jujur, 4 bulan yang saya lalui benar-benar melelahkan, penuh air mata dan menyesakkan dada.

Wajar dong. Melihat anak nangis sambil guling-guling di lantai, gak lama kemudian malah guling-guling dan sembunyi di bawah sofa, mulai menghentak-hentakkan kaki untuk mengekspresikan kemarahannya, berteriak dengan sekencang-kencangnya, dan masih banyak lagi. Tapi yang paling menarik adalah kebingungan si kicik yang terkadang membuat sayapun ikutan bingung.

Contohnya begini. Saya ajak si Kicik untuk mandi, eh dianya gak mau. Kemudian pada akhirnya akan saya paksa juga untuk mandi. Ketika sudah masuk kamar mandi dan dimandikan sembari berteriak marah, tentu saya akan memandikannya secepat kilat. Begitu shower di matikan, eh malah dianya tambah ngamuk. Katanya, dia masih mau mandi. Nah bingung kan?

Sama halnya juga dengan yang aktivitas yang lain. Mulai dari yang sederhana. Seperti mau atau tidak mau ia masuk ke rumah dan sampai ke prosesi tidur. Proses kebingungan ini yang kemudian membuat saya tersadar, inilah saatnya dimana tantrum berbicara.

Sebenarnya cukup banyak tips-tips yang diberikan untuk menangani tantrum. Tapi percayalah, tiap anak memiliki karakternya masing-masing. Kita tidak bisa lantas mengikuti tips yang kita copy paste dari psikolog anak terkenal sekalipun. Yang mengetahui karakter anak kita adalah kita sendiri. Makanya pemahaman mengenai karakter anak kita sudah harus di luar kepala ya.

Untuk si Kicik, saya menerapkan beberapa hal seperti ini (yang mungkin bisa diterapkan juga ke anak lainnya):

  1. Jangan pancing kemarahan anak.
  2. Kita harus selalu bersikap tenang. Semakin kita marah dan berteriak kepada si anak maka kemarahan anakpun akan semakin terpancing.
  3. Biarkan saja si anak menangis sejadi-jadinya. Biarlah anak-anak mengekspresikan kekesalannya dengan menangis dan berteriak, selama mereka tidak menyakiti diri sendiri dan orang lain.
  4. Peluklah anak jika mereka mau. Jika mereka menolak, jangan paksakan. Tunggulah sampai dia mau dipeluk.
  5. Setelah tangisnya reda, peluk si anak. Berikan pemahaman mengenai situasi yang sebenarnya.
  6. Di akhir kemarahannya saya tetap selalu mengatakan “I love you” supaya si anak tau bahwa kejadian sebelumnya ini tidak akan membuat rasa sayang saya ke dia berkurang. Dan ini penting! Agar anak tahu bahwa kita mendiamkan dan mendisplinkannya bukan karena kita tidak menyayangi mereka.

Waktu terlama si Kicik menangis dan berteriak non-stop adalah 45 menit- 1jam. Jadi ketika membaca artikel-artikel lain yang menyatakan bahwa biasanya anak akan berhenti menangis dan berteriak pada menit 15 karena kelelahan, ternyata sangat tidak sesuai dengan yang kami alami. Jujur, saya lelah sebenarnya pada waktu itu. Tapi, saya harus kuat. Bukan kita tidak sayang kepada anak tetapi kita ingin mengajarkan bahwa dengan menangis dan merengek, mereka tidak akan mendapatkan apa-apa.

Perjuangan menghadapi tantrum selama 4 bulan ini lumayan berhasil (menurut saya). Yang hampir setiap hari si Kicik tantrum, sekarang jarang sekali saya melihat dia mengamuk. Bahkan rasanya saya sudah lupa kapan melihat dia tantrum akhir-akhir ini. Alhamdulillah…

Perjuangan berat tentu akan memberikan hasil yang manis. Percayalah itu!

Semoga bermanfaat…

Love,

Bubunnya Aqeela

5 thoughts on “Tantrum Bikin Pusing?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.